Sabtu, 09 Maret 2013

Logic's Love


Nama   :Sesilia Rachma Puspita
Kelas   :X-8
Logic’s Love
Aku menatap lurus papan tulis yang berjarak 8 langkah dari mejaku. Tangan kananku menyanggah daguku, sementara tangan kiriku memutar-mutar pulpen.Aku menghela nafas untuk ketiga kalinya dalam pelajaran kimia ini. Aku menyerap pelajaran kimia yang tertulis rapi di papan tulis dengan cepat. Bahkan aku sudah hapal rumus yang dituliskan hanya dalam hitungan menit. Tapi sekarang, Aku merasa bosan mengalir di pembuluh darahku. Aku melirik ke kanan dan ke kiri berusaha menghilangkan rasa bosan,aku melihat semua teman sekelasku sedang menghela nafas dan menggaruk-garuk kepala mereka. Aku jamin, tentu mereka tak mengerti apa yang tengah diterangkan oleh Bu Wanda. Aku juga jamin, mereka ingin cepat-cepat bel berbunyi, sehingga rasa haus dan lapar mereka berhenti, karena setelah pelajaran ini waktu istirahat. Analisisku hampir tak pernah salah.
Aku membalikkan buku catatanku hingga sampai kehalaman akhir. Halaman favorit setiap orang untuk di coret-coret. Aku mengambil pensil mekanik dan mulai berfikir objek apa yang hendak aku gambar. Aku bersyukur, dianugerahi bakat menggambar yang di atas rata-rata itu.
Aku menggerakkan bola mata hitam legamku untuk mencari objek yang bagus. Dan pandanganku jatuh pada seorang laki-laki yang selalu aku kagumi. Laki-laki yang memiliki nama yang cukup unik, dan begitu melekat di otakku sehingga aku terus-menerus memikirkan dan mengingatnya. Laki-laki itu ialah Liam. Liam memiliki kulit kuning langsat cerah, berhidung mancung, dengan rambut sedikit acak-acakan. Liam juga cukup tinggi dibanding aku yang hanya memiliki tinggi 163 cm. Dia memiliki tinggi berkisar kurang lebih 170 cm, berat tubuhnya juga mengimbangi tinggi badanya, menurt taksiranku berkisar 52 kg. Liam tidak terlalu gemuk maupun kurus. Ideal. Wajahnya? Tak usah di ragukan, dia memiliki ketampanan diatas rata-rata. Dia terlihat begitu tampan saat tertawa maupun tersenyum msenunjukkan deretean gigi rapinya. Dia termasuk orang yang begitu tenang, dan easygoing. He could enjoy his life well.
Liam seperti sebuah sungai yang mengalir pelan. Tapi tanpa sadar aliran itu telah memperangkapku dan membawaku ke hulunya.
 Aku mulai menggoreskan pensilku dan munculah sebuah mata yang memiliki tatapan teduh dan ceria. Ya, itu mata Liam. Tapi aku tidak menyambung gambarku, hanya karena aku takut teman sebangku, Gina, dan teman sekelasku tahu kalau diam-diam aku menyukai Liam. Aku harus kembali ke realita yang menyakitkan, realita yang menyatakan hubungan aku dengan Liam begitu nihil, tidak ada aksi maupun sejauh aku duduk di bangku kelas satu sma ini.  
Meski realitaku pahit, aku masih berharap  agar aku bisa memanggil namanya setiap pagi, menyapanya, bertukaran nomor telepon, bersenda gurau bersama. Tapi semua yang kuharapkan hanya omong kosong bagiku.Bagi otot-otot wajahku saja, untuk menunjukkan rasa bahagia saja begitu sulit. Aku tak tahu mengapa, semua otot-otot pada diriku menolak melakukan apa yang diperintahkan oleh hati kecilku. Aku seperti seorang robot.
Liam. Setiap kali berpapasan dengannya jantungku mendadak terasa mau copot, dan bodohnya lagi bibirku seakan terkunci untuk tersenyum maupun menyapa si tampan Liam.
Teng..tong...teng...
Bel berbunyi. Semua orang segera bergegas keluar. Aku hanya terpaku saja di mejaku sambil mencuri pandang pada Liam. Liam bukan sepertiku. Liam begitu ekspressif. Liam begitu mudahnya tertawa didepan banyak orang. Bahkan Liam sering menjadi biang ribut kelas, memberikan berbagai julukan pada seisi kelas, mengejek beberapa orang, mengerjai beberapa orang. Itu semua bagiku menjadi nilai plus untuk menyukainya. Aku kagum padanya. Aku tak pernah bisa melakukan hal yang bisa ia lakukan. Aku begitu kaku.  
Hah....
Aku menghela nafasku dan menikmati bekalku.
I wonder, I could talk to him and show him all of my feeling.
**
Detik-demi detik berlalu dan tiba pelajaran berikutnya. Pelajaran wajib bagi mereka sang calon politikus maupun politikus itu sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan.
“Anak-anak,Ibu akan memberikan tugas kelompok. Baik ibu akan membaginya dengan cara, masing-masing menghitung urut dari 1-8, jadi satu kelompok terdapat tiga orang. Baik mulai dari kamu Dean!”
Dean mulai menghitung. Ia mengucapkan angka satu dengan lantang, disusul dengan orang disebalah kirinya.
Dan sampailah pada giliranku, “Dua.” Ucapku datar. Aku mulai menghitung untuk mengetahui anggota kelompokku.
Salsa? Oalah, diakan payah diajak kerja kelompok. Aku kesal, tapi raut wajahku tidak menunjukkannya. Dengan wajahku ini, mungkin aku cocok menjadi partnernya Robin Hood. Polisi tidak dapat menyadari kebohongan maupun perasaan yang aku sembunyikan. Mungkin pencuri akan menjadi pilihan pekerjaanku yang terakhir.
 Aku kembali menghitung dengan jari telunjuk kananku, Tiga Gina, empat Nana, lima, Beni, enam Zoey, tujuh Bianca, delapan Thio, satu Uni, dua....
Liam??
Jantungku berdetak begitu kencang, mungkin sebagai wanita normal wajahku sudah memerah,But, I don’t. Aku begitu baik menyembunyikan perasaanku.
“Baiklah, semua duduk dengan kelompoknya masing-masing.”, ucap ibu Vania memberi intruksi.
Aku mengemas buku-bukuku dan berdiri, mengikuti instruksi tangan salsa yang memanggilku dengan begitu ceria. Hati kecilku bertanya, apakah ada rumus untuk membuat tawa? Bagaimana cara memunculkan gaya yang cukup untuk membuat seberkah senyuman di wajah?
According to me Smiling is as hard as taking a diamond in a Lion’s cave.
(Menurutku, tersenyum sama sulitnya dengan mengambil berlian di kandang singa)
“Sa, kelompok kita siapa aja?”, aku mendengar percakapan Liam dengan salsa. Salsa menunjuk tepat kearahku sambil tersenyum. “Kita dengannya...”
“Dengan Sira ya?”, tanya Liam sambil menatapku. Mataku bertemu dengan matanya. Aku begitu malu, tapi wajahku tak menunjukkannya. Otot wajahku hanya menunjukkan sebuah straight face. Aku memang robot. Robot yang hanya diprogram melakukan hal-hal seperlunya saja.
Ibu guru memberikan kertas tugas di atas meja kelompok kami. Seperti yang aku duga, setiap kelompok akan persentasi secara bergantian setiap minggu.
“Kita kebagian tentang Kasus politik di Indonesia, tugasnya disuruh bikin video sama poster,” ucapku memulai percakapan di meja kelompok kami.
“Kapan nih Sira, kita ngerjainnya? Aku sih fine-fine aja, tiap hari aku bisa...”, tanya Liam. Liam menatapku dengan mata hitamnya. Aku merasakan kedamaian menghampiriku. Rasanya hangat, dan begitu nyaman.  
“Rabu aja ya?”, tanyaku.
“Oke deh...”, jawab salsa dan Liam hampir berbarengan.
“di rumah aku ya?”, tanyaku lagi.
“Alamatnya?”, tanya salsa.
Aku menuliskan alamatku di dua kertas, satu untuk salsa, dan satu lagi untuk dewa laut, Liam.
“Yaudah sir, emm, sira.. bagi nomor hp mu dong?”, Liam menyodorkan secarik kertas dengan sebuah pulpen. Aku meraihnya. Aku begitu senang, But I don’t say anything. It because I can’t show my feeling well. Can anyone teach me how?
If I were an actress, I would be some of bad actresses.
(Jika aku seorang artis, aku akan menjadi salah satu artis yang buruk)
**
Hari rabu tiba. Kelompokku sudah memutuskan bakal kerja kelompok dirumahku jam tiga sore. Aku menunggu mereka dengan setia di balkon rumahku di temani dengan seonggok kertas, beberapa buku cetak, dan handphoneku.
Dret..drett..
Tiba-tiba handphoneku bergetar. Pesan dari Salsa. Aku segera membacanya.
From  :Salsa Khairina.
Sorry ya Sira... Gue ada ekskul hari ini. Gue gak jadi datang.
Aku begitu kesal setangah mati, aku menyampakkan handphone ke kursi. Mungkin jika aku adalah orang yang ekspresif bibirku akan melantunkan kata-kata mutiara. Tapi aku bukan. Orang seperti Salsa seharusnya dikategorikan menjadi orang pelaku tindak kriminal dan dimasukkan ke penjara ‘Murid Durhaka’.
“Kenapa Sir, hPnya kok dibanting?”.
Tiba-tiba suara yang aku kenal terdengar. Aku menoleh, Liam. Aku tersentak kaget, bagaimana tidak Liam datang tiba-tiba. Motor Liam terparkir rapi di depan pagar rumahku. Apa kepekaanku semakin menurun, sampai tidak menyadari ada suara motor?
“Eh , ah.. enggak apa sih..”. Dengan cepat aku mampu mengontrol emosiku, menyembunyikan segalanya dengan senyum kecilku.
Thanks God, I look a little bit normal, with a smile on my face.
(Terima Kasih Tuhan, Aku terlihat sedikit normal, dengan sebuah senyum di wajahku)
“Emm, salsa gak jadi datang,” sambungku cepat, mengakhiri senyum yang susah payah aku ciptakan.
“Dia mah mana bisa diharap.”, sambung Liam dengan sedikit logat jawa. Aku terdiam sejenak. Mungkin aku sedang salah tingkah. Tapi otot-otot bibirku cepat menutupi ke-salah tingkahanku.“Em, Liam, kamu bawa laptopkan? Langsung aja yaa.. Kamu cari video-video tentang tindak korupsi gitu.”
“Ok.”
Pembicaraan singkat berakhir. Kami berdua tenggelam dalam tugas masing-masing. Aku dengan laptopku, dia dengan laptopnya.
**
Aku bisa mendengar dengan jelas Liam menghela nafasnya. Aku melirik kearahnya, mendapati dia sedang menggaruk kepalanya karena kepusingan. Ingin rasanya aku berkata, Apa yang bisa aku bantu, biar beban kamu ringan, biar kamu gak pusing lagi?. Seperti biasa otot tubuhku menolaknya dengan tegas, dan membuat diriku tenggelam dengan laptopku lagi.
“Ra, kamu ada flash disk gak? Aku udah download banyak nih..”, celetuk Liam yang mengakhiri keheningan yang aku ciptakan.
Aku menoleh ke arahnya beberapa detik, mengangguk kecil, dan memalingkan wajahku kedalam kotak pensilku, mencari sebuah benda kecil, flash disk.
Aku memberikannya, tanpa mengucapkan apa saja. Mungkin aku terkesan begitu sombong, tapi sekali lagi bibirku enggan berbicara. Jantungku berdebar dengan kencang. Aku benar-benar menyukai Liam.
Once again, He makes me fall in love with him. Does he give me drugs?
(Sekali lagi, Dia membuatku jatuh cinta padanya. Apakah dia memberikanku narkoba?)
“Here is the flashdisk. Mmm, tugas kita udah selesai?”
“Em, belum sih... tinggal aku edit video-videonya, bikin makalahnya, print makalahnya, terus nge-foto copy-in ke kelompok lain.”
Liam mengangguk kecil,”Ooooh...”
“Ntar, biar aku aja yang foto copy makalahnya...”, sambungnya.
“Boleh..”
“Oh ya Sira, Poster tentang anti korupsinya kapan mau dibuat?”
“Hari Sabtu bisa?”
“Bisa..”
Setalah berbicara seadanya aku kembali dalam laptopku. Liam menyesap sirup yang sudah aku buat. Aku begitu bodoh, aku tak memanfaatkan kesempatan dengan Liam dengan baik.
Once again, I let a gold chance go away.
(Sekali lagi, Aku membiarkan kesempatan emas pergi begitu saja)
**
“Ra, aku pamit pulang deh.. Udah mendung... Aku takut ujan, aku kan naik kereta...”
“Yaudah deh..”
Aku ingin mencegat Liam untuk pulang , tapi logika-logikaku menolaknya. Aku membiarkannya membuka pintu pagar rumahku dan berlalu. Dan bodohnya lagi, logika-logikaku membatalkan bibirku mengatakan salam perpisahan, “Bye. Be careful ya.”
**
Aku berjalan mengelilingi satu sekolah hanya untuk mencari Liam. Aku mencariya bukan atas hatiku yang suka padanya, tapi atas otak robot dan logika bodoh, serta seluruh pemikiran yang mungkin bisa membuatku gila. Ya, aku  hanya ingin memberikannya tugas untuk mem-foto copy makalah tugas kelompok kami.
Beruntung, aku menemuinya cukup cepat, paling tidak , tidak sampai mengelilingi sekolah ini dua kali. Aku bahagia mendengar suara Liam dari balik tembok. Suara khasnya yang bisa membuatmu meleleh, jika kau bukan seperti aku, si keturunan dewi pemikir, Athena.
Tunggu, aku menghentikan langkah kaki kecilku.Aku bisa mendengar dengan jelas  Liam sedang berbicara dengan ...
 Otak robotku mendeteksi orang yang tengah bersama Liam. Dan hasil dari ingatan tajamku menyatakan suara itu milik Thio, yang aku yakini melalui analisisku, ialah sahabat Liam.
“Liam, elo kok gak pacaran lagi?”
“Habis, orang yang gue suka belom kasih respon yang jelas...”
“emang siapa yang elo suka? Salsa ya? Atau Ela anak kelas 11 Ipa 4?”
“Bukan, orang yang aku suka emang aneh sih, tapi bagi gue dia amazing banget.”
“Jangan bilang kalau dia... Dhea.” Aku mendengus kecil, mewakilkan mulutku untuk tertawa. Dhea yang dimaksud ialah murid ter-aneh, satu sekolah ini, murid yang paling ‘dijauhi’, karena kotor, dan tidak terlalu pintar.
“BUKAN!”, jawab Liam penuh rasa kesal.
“Jadi...”
“Ada deh..”
Jantungku mendadak terasa sesak saat tahu Liam tengah menyukai seseorang.  Tapi rasa sesak dan sedih itu cepat berganti. Karena, Lagi dan lagi logika bodohku mengambil alih otakku dan menggerakkan ototku untuk menyerahkan tugas foto copy pada Liam.
Aku mendadak seperti orang bodoh dalam masalah ini, masalah perasaan dan cinta. Apa IQ-ku yang di atas rata-rata tidak bisa menyelesaikannya?
“Liam, ini yang harus kamu foto copy rangkap delapan ya..”, aku menyodori makalahnya dan pergi. Liam begitu mengagumkan, gumamku dalam hati.
Broken heart is something that everybody doesn’t like.
(Patah hati adalah sesuatu hal yang tidak disukai semua orang)
**
Sabtu,
Aku segera pergi meninggalkan kelas saat bel pulang sudah berbunyi. Tapi ada sebuah suara yang memperlambatku.
“Sira, wait!!”
Aku menoleh dan menghentikan langkah kakiku. Liam?,tanyaku dalam hati.Jantungku berdebar-debar melihat Liam memanggilku. Tapi logika ku melarang otot wajahku menunjukkannya, logikaku berkata, Liam sedang jatuh cinta dengan orang lain, buat apa kamu emnyukainya lagi? Lagi pula apa Liam cocok untukmu? Kau orang yang selalu diatur, kau terlahir jauh berbeda denganndia,  dia yang bebas mengarungi samudera, dia yang bebas berkelana kesana kemari.
“Hari ini jadikan kerja kelompoknya?”
“Jadi..”
“Salsa gak bisa lagi..”
What??. Teriak hatiku, tapi tidak mulutku. Rasa kesalku hanya sampai di tenggorokkan saja. Aku tersenyum datar, “Yaudah deh kalau gitu, aku pulang dulu ya, kita jumpa di rumah aku aja ya..”. Aku membalikkan badanku.
“Wait,Sira.” Tangan Liam mencegat bahu kecilku, membuatku berbalik dan mentap matanya yang begitu tenang.
 “Kenapa?”
“Kamu pulang naik apa?”
“Becak..”
“Becak langganan gak?”
“Nggak..”, aku menggelengkan kepalaku.
“Kalau gitu kamu pulangnya aku antar aja, naik motorku, aku bawa helm kok. Lagi pula kan sekalian kerja kelompok..”
Aku tertegun. Hati ku ingin. Otakku ragu dan takut, takut jika aku bakal diejek teman sekelas kalau aku dekat dengan Liam.
“Ayo Sira.. Jangan kelamaan mikirnya”
Aku masih terdiam berdebat dengan otak robotku.
“Tenang, aku gak bakal ngebut. Aku jamin, kamu bakal nyaman naik motorku, senyaman kamu naik becak.”
Otak robotku meberikan sejuta alasan agar aku menolaknya, tapi terlanjur..
Liam menarik tanganku. Untuk kali ini hatiku menang. Aku mengikuti Liam. Aku begitu
senang. Liam terlihat begitu menyenangkan untuk kesekian kalinya.
**
Mungkin aku beruntung bisa mendekati Liam. Tapi aku begitu bodoh, untuk cepat megakhiri kedekatanku dengan Liam. Setelah kerja kelompok selesai, aku kembali kedalam hidupku yang kaku.
Aku tahu, aku dan Liam tidak ditakdirkan untuk dekat selamanya. Karena Liam seperti spiderman yang bertemu dengan Gwen Stacy hanya dalam waktu sementara. Perbedaannya hanya, Spiderman Liam tidak jatuh hati dengan Gwen Robot. Karena Gwen Robot dan logika-logikanya begitu bodoh. Mungkin aku dan Liam tak akan pernah bicara lagi sampai kami tamat. Dan aku takkan pernah bisa mengatkan padanya kalau aku suka dia sampai tamat nanti.
Terkadang aku ingin menjadi seorang remaja perempuan biasa saja. Aku ingin mengekspresikan semua perasaanku. Aku ingin menjadi remaja pada umumnya. Aku ingin mengarungi samudera tanpa menaiki kapal otomatis yang membawaku kemana saja, tanpa perlu perintah.
**
Liam tidak sepertiku yang seakan-akan mematikan komunikasi kami. Liam sering mengirimi aku sms setiap hari minggu.
Happy Sunday ra.. Mmm, besok ada pr apa?
Aku palingan hanya membalas sms itu singkat. Terkesan pelit dengan pulsa. Tapi sebenarnya aku begitu malu. Aku senang Liam begitu baik padaku. Tapi, apa daya, otak robot membuatku seakan menarik diri dari Liam.
Liam juga pernah mengirimi aku pesan, di saat hari aku sedang sakit.
Sira, cepat sembuh ya.. Kelas sepi tanpa ada si juara kelasnya.
Aku tertawa membaca suratnya. Emang kapan aku ribut untuk mengisi kelas? Aku bahkan merasa keberadaanku di kelas seakan tidak terlihat. Invisible.
Liam juga pernah memberikan sebuah notes, katanya sebagai tanda terima kasih karena aku pernah mengajarinya Fisika. Notes pemberian Liam masih tersimpan rapi di kamarku. Aku begitu takut jika notes itu rusak sedikitpun.
Liam juga pernah menawariku untuk pulang bersamanya, tapi aku menolaknya dengan kebohongan yang begitu halus, seperti barang imitasi yang terlihat begitu sama dengan barang aslinya. Aku berkata,”Maaf Liam, aku naik becak langganan sekarang.”
**
Tanpa sadar tiga tahun berlalu dari SMA ini. Seperti yang aku duga, aku masih menyukai Liam. Tapi aku yakin, Liam tak menyukaiku. Bagaimana bisa, laki-laki yang sedikit ugal-ugalan itu menyukai aku, Sira, si perempuan aneh, yang selalu invisble, tidak terlihat kehadirannya.
**
Hari perpisahan
Aku duduk dengan penampilan yang cenderung sederhana, maksudku dandananku tidak jauh beda dengan hari sekolah. Rambut diikat, poni di miringkan ke samping kanan. Di tengah keheningan yang aku ciptakan. Tiba-tiba,Thio datang sambil menyodorkon secarik kertas.
 Aku menerimanya. Kertas itu berwarna biru laut yang membuatku tak melepaskan pandangan darinya.
 “Ra, menurut aku, kamu terlalu kaku, kamu jangan kaku kau amat dong, aku takut.. Oh iya itu surat dari Liam... Liam malu kasihnya.. Balas ya!”, ujar Thio yang ak yakini seratus persen jujur. Ingin rasanya aku tertawa setengah mati mendengarnya, tapi tawa itu hanya sampai di tenggorokan saja.  
Thio berjalan menjauh. Aku segera membaca surat itu.
Buat    :Sira
Ra, Kamu amazing buat aku. Kamu begitu mengaggumkan. Oh ya Ra... Selamat ya Nilai UN kamu bagus, bagusnya pake Banget. Kamu juga lulus kan di fakultas yang kamu suka, Kedokteran.
Ra... Selama ini ada hal yang pengen banget aku sampaikan ke kamu. Tapi aku takut, takut banget. Takut kamu jadi benci ke aku. Tapi aku harus menyampaikan ini, tak ada waktu lagi untuk menyembunyikannya.
Ra... Aku suka kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku? Ra, please, jangan marah sama aku, jangan benci sama aku. Ra, jawab yang jujurya Ra.
Ra.. sejak kelas satu aku udah suka kamu. Kamu alasan selama SMA aku gak punya kekasih. Kamu adalah alasan yang kuat buat aku rajin belajar.
Kamu ingat gak waktu kita kerja kelompok untuk pertama kalinya? Aku seneng bukan main Sira. Sira...  I Love You so so so much.
Aku begitu kaget. Selama ini, cintaku terbalas? Mungkin bagi perempuan normal mereka bakal langsung memeluk Liam dan membalas cintanya. Tapi aku bukan kategori Normal. Tapi keinginanku sama dengan wanita normal yang berada pada posisiku, keinginan untuk  mengatakan cintua pada Liam, tapi keinginanku itu terhenti oleh logika-logika bodoh yang diberikan otak robot.
Aku mengambil seacarik kertas dan mulai menulis surat untuk liam. Untung saja aku selalu menyediakan kertas kemanapun aku pergi.
Untuk Liam.
Liam...Makasih banget kamu udah suka sama aku. Aku juga suka sama kamu.
Aku membaca hasil tulisanku, yang begitu aneh bagi logika-logika ku. Aku mengambil correction pen, dan menghapus kalimat terakhir. Apa tindakanku benar? Ya, bagi otakku, tidak, bagi hatiku.
Aku menggantikan kalimat terakhir dengan menuliskan:
Liam, I’m not ready for this. Sorry.
Logika ku ingin aku berbohong lagi untuk perasaanku.Hati kecilku tak bisa melawan logika-logika bodohku. Aku menyerahkan surat pendekku langsung ke Liam.
“Liam.. Ini buat kamu..”
Ingin rasanya aku menangis dan membunuh logika-logika ku. But, I can’t. Aku memang robot yang diprogram untuk tidak ekspressif. Liam, I love you so much, bisikku dalam hati.
**
Aku duduk termenung. Aku tidak menitikkan air mata, karena mataku tak diizinkan untuk menangis oleh otak robot ini. Logikaku membuatku muak dan benci pada diriku sendiri. Aku telah membuang kesempatan emasku, untuk menjadi kekasih Liam. So Stupid.
“Ra, boleh foto bareng gak? Untuk kenang-kenangan..”
Suara Liam membuatku terkejut dan balik ke realita yang begitu kejam. Aku bengong untuk waktu yang cukup lama. Aku ingin mengatakan Yes. Tapi bodohnya lagi, otak robotku mengatakan hal bodoh. “Boleh, mm, sama Gina ya!”. Tanganku menarik Gina untuk foto bersama.
Aku bisa merasakan Kecewa pada mata Liam. Hatiku juga begitu kecewa pada diriku sendiri.
Setelah foto selesai, Liam pergi.
Aku merasakan sesak pada dadaku. Apakah ini rasa nyesek yang sering para remaja katakan?dan berkat rasa nyesek ini, aku malah menyusul Liam. Aneh.
“Liam, foto sekali lagi dong?”, ucapku yang membuat otak robotku mengamuk-ngamuk.
Liam mengangguk senang. Finally, we took a photo together. Aku bahagia, bahagia bukan main. Di handphoneku, dan di handphonenya, sudah tersimpan foto kami berdua.
“Ra, seriosly, I’m in love with you...”, ucap Liam.
“Sira, aku gak bakal pernah ngelupain kamu, dan jujur aku masih berharap kamu menerima aku. Tapi aku gak mau buat kamu jijik, kesal, maupun marah denganku. Aku bakal jauh dari kehidupanmu, menghilang.”
Liam meninggalkanku, di tengah pesta perpisahan dengan melambaikan tangannya. Liam tulus mencintaiku, begitu pula aku. Tapi, aku tak bisa mengekspresikan rasa cintaku. Otak robotku memikirkan sebuah masa depan yang lain bagi diriku, sebuah masa depan dengan laki-laki lain yang sepintar aku, mapan, dan mungkin juga kaku. Liam masih memberikan sebuah kesempatan bagiku. Tapi apa daya, aku tak tahu cara membalas kesempatan itu.
Awkward Moment is When Someone gives you another chance, and
you don’t know what You Have to do
(Momen terburuk ialah saat seseorang memberikanmu sebuah kesempatan lagi,
 tapi kamu tidak tahu apa yang harus kamu lakukan dengan itu.)
**
Akhir dari cerita pendek ini tidak seindah yang ingin diharapkan. Aku dan otak robot, dan logika-logika bodoh ini, melarang hati kecilku untuk membalas cinta Liam. Aku mungkin menjadi wanita terbodoh sepanjang masa.
Aku memang robot yang bodoh. Liam, aku begitu menyukainya tapi aku enggan bersamanya. Ya, aku kembali menjalankan hidup ala robotku, tapi tanpa Liam lagi.
Aku tahu suatu hari, aku akan bertemu Liam, dan rasa cintaku akan bergejolak lagi. Aku juga tahu suatu hari lagi, aku akan begitu sedih melihat Liam bersama wanita lain. Tapi aku masih saja menjadi robot bodoh. Aku mungkin pintar tapi aku juga bodoh.
Aku berjanji suatu hari nanti, aku bisa mengatakan perasaanku pada Liam. Walau suatu hari itu, mungkin hari dimana aku dan Liam sudah terikat dengan orang lain.
Aku dan Liam memang bagaikan Dewi Athena dengan Dewa Poseidon. Terlahir untuk tidak bersatu, walau sepanjang massa ditakdirkan untuk duduk di singgasana Olympus bersama. Ya, aku memang Athena, Dewi yang selalu berfikir, memainkan logika-logika, Dewi strategi perang. Sementara Poseidon, bebas tenang di laut. Tapi jika aku benar-benar Athena, dan dia Poseidon. Aku masih punya kesempatan dengannya untuk bersatu dengan mengalahkan ke-egoan logikaku,meskipun hanya dalam perang.
Maafkan Aku ya Liam.Aku begitu munafik, dan kemunafikan aku justru menghancurkan dua orang, bukan hanya aku, tapi juga kamu.
Love doesn’t need logic, But I give many logics to Love, So I Broke it perfectly.
(Cinta tidak butuh logika, tapi aku memberikan banyak logika
Untuk cinta. Jadi, aku merusaknya dengan sempurna.)




--T A M A T--



Jumat, 30 November 2012

Short Trip, Everlasting Memory


Aku Karen. Aku baru saja putus dengan pacarku. Aku begitu patah hati. Aku memutuskan berlibur ke Bandung kira-kira dua hari. Dan hari liburku dimulai dari hari ini.

Aku baru saja turun dari bus yang mengantarku Jakarta-Bandung. Aku mulai merasakan haus dan lapar yang mulai menggerogoti tenagaku. Aku butuh makan, sekarang juga.

Sudah menjadi kebiasanku, untuk mengecek uang yang ada sebelum pergi membeli sesuatu. Dan aku mendampati dompetku hilang dan uang yang tersisa di kantongku hanya sepuluh ribu. Aku benar-benar depresi kehilangan dompetku. Aku lapar. Rasa laparku tidak bisa memberikan toleransi.
Mataku mulai berair. Aku tidak bisa membayangkan tinggal di Bandung tiga hari tanpa dompet dan sanak keluarga. Sekarang uangku hanya tinggal sepuluh ribu, dan sepuluh ribu itu harus di hemat sampai hari Minggu nanti.

Aku akhirnya tidak jadi makan, dan malah meneruskan perjalananku. Mataku masih berair. Aku terus berjalan kaki, karena uangku tidak cukup untuk naik transportasi.

Setelah setengah jam penuh berjalan aku berhenti di sebuah taman sejenak untuk duduk. Semua bangku taman hampir penuh, tapi ada sebuah bangku yang baru terisi seorang anak kecil saja. Bagai melihat baju bermerek yang discount, aku segera berlari untuk mendapatkannya dan aku lah orang yang beruntuk mendapat bangku kosong itu. Horee.

Aku mendengar isak tangis. “Siapa yang nangis?”, lirihku. Aku melihat ke kananku, dan ternyata anak kecil yang duduk di sampingku sedang menangis.

Aku merapatkan diri ke arahnya. “Kenapa nangis dik?”

“Aku mau balon itu, tapi kak Gheo masih di kamar mandi..”

Aku tidak tega melihat adik kecil yang imut ini. Aku pun menggunakan uang terlakhir ku untuk membeli dua buah balon sekaligus yang gila, harganya mahal banget, lima ribu satu.

“Nah, untuk kamu dik...”, aku menyodorkan dua buah balon berwarna kuning dan merah. Aku menghapus air matanya dengan sapu tanganku. “Jangan nangis lagi ya..”. Anak kecil itu mengangguk lugu. Manisnya.
Aku pun langsung akrab dengan adik itu. Namanya Popy, nama yang lucu. Aku besenda gurau dengan Popy. Tertawa bersama.

Lalu, datanglah kakak Popy. Yang bernama Gheo.

“Hei, kamu siapa?”, tanyanya ketus. “Popy, kemari!”

“Kak, dia temen Popy..Dia yang nemenin Popy waktu kakak ke toilet.”

“Jangan-jangan dia penculik lagi!”

“PENCULIK? Apa maksud kamu sih? Seenaknya saja bilang orang penculik!!”, sambungku ketus. Menyebalkan sekali si Gheo ini. Aku  segera membuang wajahku.

“Kak, dengerin cerita Popy dulu!”, Popy menarik kemeja Gheo, tanda diminta untuk digendong.Gheo pun menggendong Popy. Popy bercerita langsung ke telinga Gheo.

“Maafin aku..”, Gheo menyodorkan tanganya. Aku menyambutnya masih dengan wajah kesal. Wajah Gheo juga menunjukkan wajah yang kesal.

Aku bisa melihat Popy menyikut kakaknya sehingga kakaknya berkata, “MM...sebagai permohonan maaf, biarkan aku dan popy ngantarin kamu.”

Sebenarnya aku butuh hal lain dari pada sebuah tumpangan kendaraan. Aku butuh tumpangan tempat tinggal. Eh..??!Aku memberanikan diriku mengutarakannya.

“Apa boleh aku minta bantuan kalian dalam hal lain?”, tanyaku hati-hati.
Popy kembali menyikut kakaknya.”Hmm, katakanlah.”

Aku langsung menuturkan cerita aku kehilangan dompet dan tidak mempunyai saudara di Bandung. Setelah itu aku langsung jujur jika aku memputuhkan tumpangan tempat tinggal. Menurutku sih Popy terlihat begitu antusias mendengarkannya. Aku berharap-harap cemas agar permintaanku di kabulkan oleh Popy dan kakaknya.

“Ayo kita tolong dia kak..”

“EH???”

“Kak Karen, ayo naik mobil kami!!”

Popy menarik tanganku dan juga tangan Gheo. Aku tersenyum bahagia. Thanks God. Dan sekarang masalahnya cuman satu, meluluhkan hati Gheo.
**
“Ini rumah Popy kak!”

Akhirnya aku sampai dirumah Popy dan Gheo. Gheo masih menunjukkan wajah ketus. Aku jadi meras sedikit tidak enak pada Gheo. “Gheo, makasih ya pertolongan elo,  dan jangn mikir yang buruk-buruk tentang gue. Gue disini bukan untuk menjadi penculik atau hal buruk  lainnya..”, jelasku. Gheo mengacangiku dan pergi membuka pintu rumah.

“Masuk.”, ucapnya. Popy begitu antusias, sehingga popy masuk terlebih dahulu.

Dan sekarang gilirian gue masuk. “elo! Awas elo macam-macam disini!, cepet masuk”,cegat Gheo sebelum aku masuk.

“Thanks!!”, ucapku. Akhirnya hatinya luluh. Dengan spontan aku memeluknya. “Gheo, kalau seandainya ada kesempatan kita berjumpa lagi, gue bakal ngabulin sebuah permintaan elo. Dan gue disini malam ini aja kok, besok mama gue jemput gue di Bandung..”

“I take your promise!”, ucapnya masih sedikit ketus. Ya, possitive thinking aja  Mungkin Gheo emang orang yang ketus. Hihi..
**
“Pop, apa kakakmu emang ketus gitu ya?”

“Gak..ada sejarahnya lho kak Karen..”

“Apaan?”, tanyaku antusias.

“Kakak bakal Popy kasih tahu kalo waktunya udah pas.”

“Yaelah..Hmm..kalau gitu makanan favorit kakak kamu apa?”

“Nasi goreng pake udang”

“Hmm, di kulkas kamu ada bahan-bahannyakan? Sebagai rasa terima kasih kakak mau masakin kakak kamu, boleh kan?”

“YA, tentu saja kak Karen cantik..”

Popy mengantarku ke dapur.  Kamu berdua pun mulai memasak dengan bahagia.
**
Kuakui wangi masakkanku mulai menyeruak ke sepenjuru rumah Popy. Nasi goreng udang ala chef Karen sudah jadi.

“Apaan tuh?”

Orang yang sudah ditunggu-tunggu pun muncul. Aku menyambutnya dengan senyuman yang manis. “Ini nasi goreng udang, ayo makan!”, ajakku dengan nada yang aku kontrol agar tidak ikut ketus dengan nada suaranya.

“Jadi elo yang masak? Ih..ntar elo masukin racun?!”,Gheo mengernyitkan dahinya dan membuat isyarat 
tangan yang menyatakan dirinya ogah untuk makan.

“Apaan sih Gheo, Cemana bisa elo hidup bahagia, elo aja gak bisa menerima kebaikkan orang!!”, nasihatku.

“Coba aja deh kak, pasti enak, dan nggak ada racunnya, kan Popy juga ikut masak!”, tambah Popy.

“Gheo, coba deh, nih Aaaa!”

Karena sangking kesal melihat Gheo, aku  langsung menyuapinya dengan sesendok penuh nasi goreng. “Cepetan makan!”. Mau tidak mau Gheo pun melahapnya. Wajahnya terlihat sedang menerka-nerka rasa masakanku.

“Enakkan!!”, celotehku. Gheo mengangguk kecil. “Eitss, dengan cara apa loe mampu menggaransi nasi goreng udang ini aman dikonsumsi?”

“Yaudah  kita makan bareng-bareng aja, jadi kalo ada racun kita bertiga bakal sakit sama-sama!”
Aku mengedipkan mata kananku. Aku pun mulai menuang nasi goreng ke atas piringku sendiri. “Ayo makan!!!”
**
Bandung saat jam dua belas siang ini masih saja tetap panas. Popy sekarang sedang tidur siang. Tanpa kusadari aku sudah berada di Bandung sekitar tiga jam lebih. Pikiranku melayang mengingat Henry, mantan pacarku yang bisa dibilang kurang ajar itu. Aku sudah tidak tahu kabar Henry lagi, apalagi saat ke Bandung aku memutuskan untuk mematikan blacberry-ku.

“Henry..”

Aku tenggelam dalam momen –momen hangat dengannya. Sebelum jauh tenggelam dalam momen-momen itu, pikiranku akhirnya dikacaukan oleh bunyi kran air.Aku mulai mengikuti sumber suara itu.

“Eh Gheo, lagi ngapain?”, tanyaku. Ternyata sumber suara itu berasal dari garasi mobil Gheo.

“Elo gak liat apa? Jelas-jelas kalo udah ada air sama sikat dan sabun berarti mau nyuci mobil, pake tanya lagi!!”

“Ih..sewot amat sih!! Mmm...Boleh gue bantu kan?”

“Mendingan elo tidur aja gih!”

“Elo  jadi orang ketus banget, dibantuin salah, udah deh sini selangnya!!”

Aku berjalan kearahnya dan mengambil selangnya. Aku tersenyum jahil menatapnya. “Mau gak mau , elo harus terima bantuan gue!!”

Kami pun menyuci mobil bersama-sama. Beberapa kali aku jahil menyipratkan air kewajahnya. Dia malah menatapku dengan wajah ketus, dan dilanjutkan dengan senyum tipis yang menunjukkan kebahagian dan kehangatan dari dirinya.

“Kalo dibantukan jadi cepet siap sih!!!”

“Iya, dan baju gue basah semua..”

“Maaf..hahaha....”

Kali ini aku merasakan jika sisi ketus Gheo hanya merupakan tameng untuk melindungi kehangatan dirinya. Dan aku juga baru menyadari kalau Gheo cukup manis walau tidak semanis Henry.
**
Popy masih tidur. Aku tidak mempunyai teman. Disaat begini kenanganku dengan Henry mulai menyelimuti diriku. Aku terperangkap lagi dan lagi.

“Karen, I promise you, I will always love you...”

“Are you sure?”

“Yes.. You’re the only one that I always love ..”

“I Love you so much Henry...”

Kata-kata itu terngiang-ngiang di otakku. Tanpa sadar aku mulai menitikkan air mata. Aku mungkin perempuan yang bodoh, kenapa menangis untuk pria jahat seperti Henry. Henry telah menghianatiku, begitu pula sahabatku.

“Karen...e..e..elo nangis?”

Suara Gheo mengagetkanku.Aku segera menghapus air mataku. “hmm..Gheo..udah siap mandinya...” Aku berusaha tersenyum menyembunyikan tangisanku. Ruang tamu Gheo terasa sangat hening. Hanya ada aku dan Gheo.

Gheo mengangguk kecil, lalu ia mengambil posisi duduk di samping kananku. Aku berusaha menahan isakan tangisku, tapi hal tersebut sulit sekali.

“Tujuan elo ke Bandung apa?”, tanya lagi.

“Jalan..jalan.”

“Bukan, elo bohong. Elo punya masalah apa sampe harus ke kabur ke Bandung segala? Apa pacar?”, tanyanya hati-hati. Aku mengiyakan dengan anggukan.

“Dasar Karen ! Elo ke Bandung buat have fun, jangan nangis.. Mmm, mendingan kita jalan-jalan aja!”, tawarnya. Tawarannya membuat aku tak percaya. Aku tersenyum lembut. “Gue gak mau nyusahin elo sama Popy, gue disin cuman numpang, duit gue udah abis Gheo..”

“Elo gak nyusahin kok, anggap aja tawaran gue sebagai upah nyuci mobil dan sarapan nasi goreng udang?”
Gheo mengangkat sebelah alisnya. Aku baru menyadari dia tampan, aku juga menyadari dia udah nggak terlalu ketus sebelumnya. Aku tersenyum tanpa sadar. “Hmm, alright!, gue bangunin Popy ya!”
**
“Trans studio?!”, pekikku. Aku tak menyangka Gheo bakal ngajak aku kesini. “Ghe..dua jam lagi trans studio juga udah tutup, ngapain ngajak gue kesini?”

“Have fun,”jawabnya enteng.

“Udah deh kak Karen cantik, kita langsung main aja!!”

Tangan kecil Popy mulai menarik-narik tanganku. “Stop crying ok?”, bisik Gheo saat berjalan mendahuluiku. Aku sadar wajahku pasti memerah. Buat Henry, dua jam kedepan elo gak bakal ada di otak gue. Aku tersenyum sangat-sangat bahagia.
**
“Seru kan kak Karen cantik?”, tanya Popy. Aku mengangguk setuju. Aku melirik kearah Gheo. Gheo makasih ya..

“Mm, setengah jam lagi trans studio bakal tutup,jadi mau kemana lagi?”, tanya Gheo.

“Hmm, ke toko sovenir aja kak!”

“Ok, Popyku!”
**
“Kak Popy mau beli ini semua!”, sahut Popy sambil menunjukkan keranjang belanjanya. Aku hanya bisa menahan nafsuku untuk membeli sesuatu. Akukan tidak punya uang.

Popy kembali asyik memilih-milih souvenir. Sekarang hanya tinggal aku dan gheo. Aku pun mengikuti jejak 
Popy, untuk melihat-lihat etalase toko. Matakupun menangkap sinyal barang unik dan lucu. Mataku berhenti di depan gantungan kunci bergambarkan penguin. Gantungan kunci pasangan ini lucu banget, batinku.

“Kak Karen, bantuin Popy milih dong!!”, panggil Popy.Aku segera mengurungkan niatku dan pergi meninggalkan gantungan kunci lucu itu. Mungkin butuh waktu beberapa bulan lagi buat aku bisa balik ke trans studio dan memilikinya.
**
Malam

“Gue capek..Eh, Karen pijatin dong kaki gue..”

Gheo menjulurkan kakinya ke arah aku yang sedang merebahkan diri di ruang nonton tv. Aku melihatnya ketus, tapi karena dia udah berjasa menyelamatkan hidupku aku pun meraih kakinya. “Yaudah duduk lah!!”, ucapku setengah jengkel.

“Yang benar ya  Karen!!”, ucapnya ketus.

Aku mengeluarkan seluruh kekuatanku untuk  memijit kakinya sehingga dia berteriak. “KARENN!!”. Aklu tertawa terbahak-bahak. Gheo menunjukkan wajah yang kesal.

“Elo gak cocok jadi tukang pijat.”

“Nah, sekarang elo udah tau kan? Jadi jangan suruh gue buat mijat lagi ya!!”. Aku menjulurkan lidah kearahnya.

“Dasar cewek aneh!!”
**
Sekarang sudah jam sepuluh. Popy sudah tidur dengan lelap. Tapi aku belum. Akupun menjelajahi rumah mereka seenakku saja.

“lala...lala..”, nyanyiku untuk menghibur diri.

“em..eh, ruang apaan ini? Piano?”

Aku membuka lebar pintu ruangan itu. Aku menyalakan lampunya. Piano cokelat besar berdiri kokoh di tengah ruangan itu. “Gheo, gue pinjem piano elo ya..”

Aku melakukan pemanasan tangan. Setelah merasa cukup aku mulai mengetes not-not piano. Masih 
bagus.Aku teringat secuplikan memoriku dengan Henri saat Henri mengajariku bermain piano, dengan lagu fur elise.

Aku mulai memainkan nada fur elise. Satu-demi satu not membawaku kemomen-momen bersama Henri. Tertawa bersama Henri, tersenyum bersama Henri. Semua kenangan itu mulai menyelilmutiku.
Aku menangis lagi dan lagi.

“Masih nangis?”

Suara Gheo membuatku berhenti memainkan piano. Sekarang, aku sibuk menutupi wajahku dengan tangan mungilku. Isakan tangisku semakin besar.

“Karen..”

Gheo mendekatiku dan memelukku. “Berbagilah kesedihan denganku.”

Aku menerima pelukkannya. Aku menangis dan membasahi kaosnya. “Mana Karen yang ceria? Mana Karen yang bahagia? Karen...Kamu jangan nangis lagi..”, lirihnya. Tangan Gheo mulai mengeleus rambut-rambutku.Aku bisa merasakan sisi kehangatan Gheo seutuhnya.

“Kenapa kamu gak bisa move on? Kenapa? Disini kan ada aku...”, ucapnya. Hal ini sontak membuatku kaget. “disini kan juga ada Popy..”, tambahnya.

“Gheo..ini gak semudah yang kamu bayangkan.”

“Ren, please back to normal. Aku mau lihat Karen yang ceria.”

“Gheo..”

“Ren, kalo kamu gak bisa move on, setidaknya kamu berbagi kesedihan sama aku.. cerita semua..”
Aku berusaha mengatur napasku. Aku mulai bercerita sedetail-detailnya.

“Henri udah menghianati kamu...kamu gak boleh sedih-sedih lagi.”

“Gimana caranya?”

“Hm..tiap kamu sedih, inget aja momen disaat kita bertiga bersama..”

“I will try..”

“Hmm, aku punya sesuatu buat kamu.”
Gheo menyodorkan aku sepasang gantungan kunci yang aku incar di trans studio. Aku begitu terkagum-kagum. “Gheo?”

“Bilang terima kasih ..”, ucapnya dengan gayanya, ketus.

“Gheo, makasih banyak..”

“Mending kamu tidur, besokkan mau ke Jakarta..Ntar kamu lelah lagi!”

Gheo mulai berjalan keluar. “Mm, ghea.”

“Ya?”

“Awas kalo kamu gak matikan lampu!!!”

Suara ketusnya menggema di seluruh ruangan.Aku tersenyum saja mendengarnya. Dasar Gheo.
**

“Apa kakak Karen cantik harus pergi hari ini juga?”

Aku menatap wajah polos Popy. Kalau dilihat-lihat Popy jauh berbeda dari Gheo. “Iya, kakak harus pulang hari ini juga..Ntar mama kakak jemput di BSM.”

“Yah...Popy kan masih mau main sama kakak..”
**
“Maaf ya Karen, gue gak bisa nunggui sampe mama loe jemput. Gue ada kuliahan hari ini.”

“Gak masalah kok. Mmm, Gheo thanks ya..”

Gheo melambaikan tangannya. “jangan nangis lagi ya? It hurts..” Gheo pergi.

It Hurts? Aku tidak bisa memahami maksud Gheo. Maksud perkataan Gheo apa kalau aku nangis menyakitkan diriku sendiri atau menyakitkannya? Dadaku berdegup kencang memikirkannya. Dua hal yang bisa aku ambil dari perjalanan ke Bandung ini. Pertama, aku gak bakal nangis karena henri, karena setiap nangis karena Henri, aku tinggal memutar ulang memori saat aku, Gheo dan Popy bersama. Kedua, aku gak bakal ngelupain Gheo dan Popy.
**
Sepulang dari Bandung aku sudah bisa mengontrol emosiku dengan Henry dan sahabatku. Aku sekarang malah rindu dengan tatapan ketus Gheo, dan wajah imut Popy.

I miss them.
**
Sudah sebulan aku tidak berjumpa Gheo dan Poppy. Degup jantungku menjadi tidak karuan saat  memikirkan Gheo. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku.
I miss You, Gheo..
Sekarang, aku berada di Mangga dua square. Aku berjalan lemas mengelilingi mall.
“Karen!!”
Suara itu, suara yang sudah lama aku dengar. Aku benar-benar merindukannya. “Gheo!!”. Aku berlari menghampiri Gheo dan memelukknya. “Gheo, kamu tahu gak, aku benar-benar merindukanmu.”
“Aku juga Ren..”
“Popy mana?”
“With her mom.”
“mm, kita makan yuk? Kali ini aku yang traktir. Soalnya aku udah punya dompet baru!!”
“Hmm boleh..”
**
“Sudah bisa melupakan Henri?”

“Hmm ya..”

“Kenapa?”

“Kok malah tanya?, bukannya kamu yang nyuruh aku ngelupain..”, aku menatapnya ketus. “Dasar Gheo aneh.”

“Mana tau kamu punya alasan lain, ntah mungkin cowok baru?”

“Gimana bisa aku punya cowok baru, kalo pikiranku hanya tertuju ke Kamu..”, ucapku spontan. 
Uppss..Aku menutup mulutku.

“Karen, kamu masih punya janji sama aku.”

“Apaan?”, ucapku dengan wajah yang memerah.

“Kamu bakal ngabulin satu permintaanku.”

“Oh, yang itu.. Aku pasti bakal nepatin kok.”

“Permintaanku, ...Mau kah kamu jadi pacarku?”, Gheo melembutkan raut wajahnya. “Ya, aku tahu ini terdengar aneh,baru saja kita bertemu lagi dan aku malah menembakmu.”

“Gheo, ini bukan hal yang aneh. Of course Aku mau..”, ucapku sambil menutup wajahku yang merah padam. 

“Gheo, kamu tahu, kamu gak perlu menembakku dengan atas nama janjiku padamu, karena aku bakal setuju kalau kamu ngajak aku jadi pacar kamu dengan cara apapun.”

“Aku cuman jaga-jaga, mana tau, aku gagal..Hehe.. Aku takut kamu malah gak suka aku.”

“Gheo, really, I love you so much , sejak sebulan yang lalu.”

“I love you Karen.”

Aku menyadarinya. Orang yang selama ini membuatku melupakan henri memanglah Gheo. Aku selalu memikirkannya setiap hari. Senyumnya, keketus-annya, wajahnya, matanya, semua membuat hidupku tenang dan jantungku berdegup kencang. I love you Gheo.