Nama :Sesilia Rachma Puspita
Kelas :X-8
Logic’s
Love
Aku menatap lurus
papan tulis yang berjarak 8 langkah dari mejaku. Tangan kananku menyanggah
daguku, sementara tangan kiriku memutar-mutar pulpen.Aku menghela nafas untuk
ketiga kalinya dalam pelajaran kimia ini. Aku menyerap pelajaran kimia yang
tertulis rapi di papan tulis dengan cepat. Bahkan aku sudah hapal rumus yang
dituliskan hanya dalam hitungan menit. Tapi sekarang, Aku merasa bosan mengalir
di pembuluh darahku. Aku melirik ke
kanan dan ke kiri berusaha menghilangkan rasa bosan,aku melihat semua teman
sekelasku sedang menghela nafas dan menggaruk-garuk kepala mereka. Aku jamin,
tentu mereka tak mengerti apa yang tengah diterangkan oleh Bu Wanda. Aku juga
jamin, mereka ingin cepat-cepat bel berbunyi, sehingga rasa haus dan lapar
mereka berhenti, karena setelah pelajaran ini waktu istirahat. Analisisku
hampir tak pernah salah.
Aku membalikkan
buku catatanku hingga sampai kehalaman akhir. Halaman favorit setiap orang
untuk di coret-coret. Aku mengambil pensil mekanik dan mulai berfikir objek apa
yang hendak aku gambar. Aku bersyukur, dianugerahi bakat menggambar yang di
atas rata-rata itu.
Aku menggerakkan
bola mata hitam legamku untuk mencari objek yang bagus. Dan pandanganku jatuh
pada seorang laki-laki yang selalu aku kagumi. Laki-laki yang memiliki nama
yang cukup unik, dan begitu melekat di otakku sehingga aku terus-menerus
memikirkan dan mengingatnya. Laki-laki itu ialah Liam. Liam memiliki kulit
kuning langsat cerah, berhidung mancung, dengan rambut sedikit acak-acakan. Liam
juga cukup tinggi dibanding aku yang hanya memiliki tinggi 163 cm. Dia memiliki
tinggi berkisar kurang lebih 170 cm, berat tubuhnya juga mengimbangi tinggi
badanya, menurt taksiranku berkisar 52 kg. Liam tidak terlalu gemuk maupun
kurus. Ideal. Wajahnya? Tak usah di ragukan, dia memiliki ketampanan diatas
rata-rata. Dia terlihat begitu tampan saat tertawa maupun tersenyum
msenunjukkan deretean gigi rapinya. Dia termasuk orang yang begitu tenang, dan easygoing. He could enjoy his life well.
Liam seperti sebuah
sungai yang mengalir pelan. Tapi tanpa sadar aliran itu telah memperangkapku
dan membawaku ke hulunya.
Aku mulai menggoreskan pensilku dan munculah
sebuah mata yang memiliki tatapan teduh dan ceria. Ya, itu mata Liam. Tapi aku
tidak menyambung gambarku, hanya karena aku takut teman sebangku, Gina, dan
teman sekelasku tahu kalau diam-diam aku menyukai Liam. Aku harus kembali ke
realita yang menyakitkan, realita yang menyatakan hubungan aku dengan Liam
begitu nihil, tidak ada aksi maupun sejauh aku duduk di bangku kelas satu sma
ini.
Meski realitaku
pahit, aku masih berharap agar aku bisa
memanggil namanya setiap pagi, menyapanya, bertukaran nomor telepon, bersenda
gurau bersama. Tapi semua yang kuharapkan hanya omong kosong bagiku.Bagi
otot-otot wajahku saja, untuk menunjukkan rasa bahagia saja begitu sulit. Aku
tak tahu mengapa, semua otot-otot pada diriku menolak melakukan apa yang
diperintahkan oleh hati kecilku. Aku seperti seorang robot.
Liam. Setiap kali
berpapasan dengannya jantungku mendadak terasa mau copot, dan bodohnya lagi
bibirku seakan terkunci untuk tersenyum maupun menyapa si tampan Liam.
Teng..tong...teng...
Bel berbunyi. Semua
orang segera bergegas keluar. Aku hanya terpaku saja di mejaku sambil mencuri
pandang pada Liam. Liam bukan sepertiku. Liam begitu ekspressif. Liam begitu
mudahnya tertawa didepan banyak orang. Bahkan Liam sering menjadi biang ribut
kelas, memberikan berbagai julukan pada seisi kelas, mengejek beberapa orang,
mengerjai beberapa orang. Itu semua bagiku menjadi nilai plus untuk
menyukainya. Aku kagum padanya. Aku tak pernah bisa melakukan hal yang bisa ia
lakukan. Aku begitu kaku.
Hah....
Aku menghela
nafasku dan menikmati bekalku.
I wonder, I could talk to him and
show him all of my feeling.
**
Detik-demi detik
berlalu dan tiba pelajaran berikutnya. Pelajaran wajib bagi mereka sang calon
politikus maupun politikus itu sendiri. Pendidikan Kewarganegaraan.
“Anak-anak,Ibu akan
memberikan tugas kelompok. Baik ibu akan membaginya dengan cara, masing-masing
menghitung urut dari 1-8, jadi satu kelompok terdapat tiga orang. Baik mulai
dari kamu Dean!”
Dean mulai
menghitung. Ia mengucapkan angka satu dengan lantang, disusul dengan orang
disebalah kirinya.
Dan sampailah pada
giliranku, “Dua.” Ucapku datar. Aku mulai menghitung untuk mengetahui anggota
kelompokku.
Salsa?
Oalah, diakan payah diajak kerja kelompok. Aku kesal, tapi raut wajahku tidak menunjukkannya.
Dengan wajahku ini, mungkin aku cocok menjadi partnernya Robin Hood. Polisi
tidak dapat menyadari kebohongan maupun perasaan yang aku sembunyikan. Mungkin
pencuri akan menjadi pilihan pekerjaanku yang terakhir.
Aku kembali menghitung dengan jari telunjuk
kananku, Tiga Gina, empat Nana, lima,
Beni, enam Zoey, tujuh Bianca, delapan Thio, satu Uni, dua....
Liam??
Jantungku berdetak
begitu kencang, mungkin sebagai wanita normal wajahku sudah memerah,But, I don’t. Aku begitu baik
menyembunyikan perasaanku.
“Baiklah, semua
duduk dengan kelompoknya masing-masing.”, ucap ibu Vania memberi intruksi.
Aku mengemas
buku-bukuku dan berdiri, mengikuti instruksi tangan salsa yang memanggilku
dengan begitu ceria. Hati kecilku bertanya, apakah
ada rumus untuk membuat tawa? Bagaimana cara memunculkan gaya yang cukup untuk
membuat seberkah senyuman di wajah?
According
to me Smiling is as hard as taking a diamond in a Lion’s cave.
(Menurutku,
tersenyum sama sulitnya dengan mengambil berlian di kandang singa)
“Sa, kelompok kita
siapa aja?”, aku mendengar percakapan Liam dengan salsa. Salsa menunjuk tepat
kearahku sambil tersenyum. “Kita dengannya...”
“Dengan Sira ya?”,
tanya Liam sambil menatapku. Mataku bertemu dengan matanya. Aku begitu malu,
tapi wajahku tak menunjukkannya. Otot wajahku hanya menunjukkan sebuah straight face. Aku memang robot. Robot
yang hanya diprogram melakukan hal-hal seperlunya saja.
Ibu guru memberikan
kertas tugas di atas meja kelompok kami. Seperti yang aku duga, setiap kelompok
akan persentasi secara bergantian setiap minggu.
“Kita kebagian
tentang Kasus politik di Indonesia, tugasnya disuruh bikin video sama poster,”
ucapku memulai percakapan di meja kelompok kami.
“Kapan nih Sira,
kita ngerjainnya? Aku sih fine-fine aja, tiap hari aku bisa...”, tanya Liam.
Liam menatapku dengan mata hitamnya. Aku merasakan kedamaian menghampiriku. Rasanya
hangat, dan begitu nyaman.
“Rabu aja ya?”, tanyaku.
“Oke deh...”, jawab
salsa dan Liam hampir berbarengan.
“di rumah aku ya?”,
tanyaku lagi.
“Alamatnya?”, tanya
salsa.
Aku menuliskan
alamatku di dua kertas, satu untuk salsa, dan satu lagi untuk dewa laut, Liam.
“Yaudah sir, emm,
sira.. bagi nomor hp mu dong?”, Liam menyodorkan secarik kertas dengan sebuah
pulpen. Aku meraihnya. Aku begitu senang, But
I don’t say anything. It because I can’t show my feeling well. Can anyone teach
me how?
If I were an actress, I would be
some of bad actresses.
(Jika aku seorang artis, aku akan
menjadi salah satu artis yang buruk)
**
Hari rabu tiba. Kelompokku
sudah memutuskan bakal kerja kelompok dirumahku jam tiga sore. Aku menunggu
mereka dengan setia di balkon rumahku di temani dengan seonggok kertas,
beberapa buku cetak, dan handphoneku.
Dret..drett..
Tiba-tiba
handphoneku bergetar. Pesan dari Salsa. Aku segera membacanya.
From :Salsa Khairina.
Sorry
ya Sira... Gue ada ekskul hari ini. Gue gak jadi datang.
Aku begitu kesal
setangah mati, aku menyampakkan handphone ke kursi. Mungkin jika aku adalah
orang yang ekspresif bibirku akan melantunkan kata-kata mutiara. Tapi aku
bukan. Orang seperti Salsa seharusnya dikategorikan menjadi orang pelaku tindak
kriminal dan dimasukkan ke penjara ‘Murid Durhaka’.
“Kenapa Sir, hPnya
kok dibanting?”.
Tiba-tiba suara
yang aku kenal terdengar. Aku menoleh, Liam. Aku tersentak kaget, bagaimana
tidak Liam datang tiba-tiba. Motor Liam terparkir rapi di depan pagar rumahku.
Apa kepekaanku semakin menurun, sampai tidak menyadari ada suara motor?
“Eh , ah.. enggak
apa sih..”. Dengan cepat aku mampu mengontrol emosiku, menyembunyikan segalanya
dengan senyum kecilku.
Thanks
God, I look a little bit normal, with a smile on my face.
(Terima
Kasih Tuhan, Aku terlihat sedikit normal, dengan sebuah senyum di wajahku)
“Emm, salsa gak
jadi datang,” sambungku cepat, mengakhiri senyum yang susah payah aku ciptakan.
“Dia mah mana bisa
diharap.”, sambung Liam dengan sedikit logat jawa. Aku terdiam sejenak. Mungkin
aku sedang salah tingkah. Tapi otot-otot bibirku cepat menutupi ke-salah
tingkahanku.“Em, Liam, kamu bawa laptopkan? Langsung aja yaa.. Kamu cari
video-video tentang tindak korupsi gitu.”
“Ok.”
Pembicaraan singkat
berakhir. Kami berdua tenggelam dalam tugas masing-masing. Aku dengan laptopku,
dia dengan laptopnya.
**
Aku bisa mendengar
dengan jelas Liam menghela nafasnya. Aku melirik kearahnya, mendapati dia
sedang menggaruk kepalanya karena kepusingan. Ingin rasanya aku berkata, Apa yang bisa aku bantu, biar beban kamu
ringan, biar kamu gak pusing lagi?. Seperti biasa otot tubuhku menolaknya
dengan tegas, dan membuat diriku tenggelam dengan laptopku lagi.
“Ra, kamu ada flash
disk gak? Aku udah download banyak nih..”, celetuk Liam yang mengakhiri
keheningan yang aku ciptakan.
Aku menoleh ke
arahnya beberapa detik, mengangguk kecil, dan memalingkan wajahku kedalam kotak
pensilku, mencari sebuah benda kecil, flash disk.
Aku memberikannya,
tanpa mengucapkan apa saja. Mungkin aku terkesan begitu sombong, tapi sekali
lagi bibirku enggan berbicara. Jantungku berdebar dengan kencang. Aku
benar-benar menyukai Liam.
Once
again, He makes me fall in love with him. Does he give me drugs?
(Sekali
lagi, Dia membuatku jatuh cinta padanya. Apakah dia memberikanku narkoba?)
“Here is the
flashdisk. Mmm, tugas kita udah selesai?”
“Em, belum sih...
tinggal aku edit video-videonya, bikin makalahnya, print makalahnya, terus nge-foto copy-in ke kelompok lain.”
Liam mengangguk
kecil,”Ooooh...”
“Ntar, biar aku aja
yang foto copy makalahnya...”, sambungnya.
“Boleh..”
“Oh ya Sira, Poster
tentang anti korupsinya kapan mau dibuat?”
“Hari Sabtu bisa?”
“Bisa..”
Setalah berbicara
seadanya aku kembali dalam laptopku. Liam menyesap sirup yang sudah aku buat.
Aku begitu bodoh, aku tak memanfaatkan kesempatan dengan Liam dengan baik.
Once
again, I let a gold chance go away.
(Sekali
lagi, Aku membiarkan kesempatan emas pergi begitu saja)
**
“Ra, aku pamit
pulang deh.. Udah mendung... Aku takut ujan, aku kan naik kereta...”
“Yaudah deh..”
Aku ingin mencegat
Liam untuk pulang , tapi logika-logikaku menolaknya. Aku membiarkannya membuka
pintu pagar rumahku dan berlalu. Dan bodohnya lagi, logika-logikaku membatalkan
bibirku mengatakan salam perpisahan, “Bye.
Be careful ya.”
**
Aku berjalan
mengelilingi satu sekolah hanya untuk mencari Liam. Aku mencariya bukan atas
hatiku yang suka padanya, tapi atas otak robot dan logika bodoh, serta seluruh
pemikiran yang mungkin bisa membuatku gila. Ya, aku hanya ingin memberikannya tugas untuk mem-foto
copy makalah tugas kelompok kami.
Beruntung, aku
menemuinya cukup cepat, paling tidak , tidak sampai mengelilingi sekolah ini
dua kali. Aku bahagia mendengar suara Liam dari balik tembok. Suara khasnya
yang bisa membuatmu meleleh, jika kau bukan seperti aku, si keturunan dewi
pemikir, Athena.
Tunggu, aku
menghentikan langkah kaki kecilku.Aku bisa mendengar dengan jelas Liam sedang berbicara dengan ...
Otak robotku mendeteksi orang yang tengah bersama
Liam. Dan hasil dari ingatan tajamku menyatakan suara itu milik Thio, yang aku
yakini melalui analisisku, ialah sahabat Liam.
“Liam, elo kok gak
pacaran lagi?”
“Habis, orang yang
gue suka belom kasih respon yang jelas...”
“emang siapa yang
elo suka? Salsa ya? Atau Ela anak kelas 11 Ipa 4?”
“Bukan, orang yang
aku suka emang aneh sih, tapi bagi gue dia amazing banget.”
“Jangan bilang
kalau dia... Dhea.” Aku mendengus kecil, mewakilkan mulutku untuk tertawa. Dhea
yang dimaksud ialah murid ter-aneh, satu sekolah ini, murid yang paling
‘dijauhi’, karena kotor, dan tidak terlalu pintar.
“BUKAN!”, jawab
Liam penuh rasa kesal.
“Jadi...”
“Ada deh..”
Jantungku mendadak
terasa sesak saat tahu Liam tengah menyukai seseorang. Tapi rasa sesak dan sedih itu cepat berganti.
Karena, Lagi dan lagi logika bodohku mengambil alih otakku dan menggerakkan
ototku untuk menyerahkan tugas foto copy pada Liam.
Aku
mendadak seperti orang bodoh dalam masalah ini, masalah perasaan dan cinta. Apa
IQ-ku yang di atas rata-rata tidak bisa menyelesaikannya?
“Liam, ini yang
harus kamu foto copy rangkap delapan ya..”, aku menyodori makalahnya dan pergi.
Liam begitu mengagumkan, gumamku
dalam hati.
Broken
heart is something that everybody doesn’t like.
(Patah
hati adalah sesuatu hal yang tidak disukai semua orang)
**
Sabtu,
Aku segera pergi
meninggalkan kelas saat bel pulang sudah berbunyi. Tapi ada sebuah suara yang
memperlambatku.
“Sira, wait!!”
Aku menoleh dan
menghentikan langkah kakiku. Liam?,tanyaku
dalam hati.Jantungku berdebar-debar melihat Liam memanggilku. Tapi logika ku
melarang otot wajahku menunjukkannya, logikaku berkata, Liam sedang jatuh cinta dengan orang lain, buat apa kamu emnyukainya
lagi? Lagi pula apa Liam cocok untukmu? Kau orang yang selalu diatur, kau terlahir
jauh berbeda denganndia, dia yang bebas
mengarungi samudera, dia yang bebas berkelana kesana kemari.
“Hari ini jadikan
kerja kelompoknya?”
“Jadi..”
“Salsa gak bisa
lagi..”
What??. Teriak
hatiku, tapi tidak mulutku. Rasa kesalku hanya sampai di tenggorokkan saja. Aku
tersenyum datar, “Yaudah deh kalau gitu, aku pulang dulu ya, kita jumpa di
rumah aku aja ya..”. Aku membalikkan badanku.
“Wait,Sira.” Tangan
Liam mencegat bahu kecilku, membuatku berbalik dan mentap matanya yang begitu
tenang.
“Kenapa?”
“Kamu pulang naik
apa?”
“Becak..”
“Becak langganan
gak?”
“Nggak..”, aku
menggelengkan kepalaku.
“Kalau gitu kamu
pulangnya aku antar aja, naik motorku, aku bawa helm kok. Lagi pula kan
sekalian kerja kelompok..”
Aku tertegun. Hati
ku ingin. Otakku ragu dan takut, takut jika aku bakal diejek teman sekelas
kalau aku dekat dengan Liam.
“Ayo Sira.. Jangan
kelamaan mikirnya”
Aku masih terdiam
berdebat dengan otak robotku.
“Tenang, aku gak
bakal ngebut. Aku jamin, kamu bakal nyaman naik motorku, senyaman kamu naik
becak.”
Otak robotku
meberikan sejuta alasan agar aku menolaknya, tapi terlanjur..
Liam menarik
tanganku. Untuk kali ini hatiku menang. Aku mengikuti Liam. Aku begitu
senang. Liam terlihat begitu menyenangkan untuk kesekian kalinya.
**
Mungkin aku
beruntung bisa mendekati Liam. Tapi aku begitu bodoh, untuk cepat megakhiri
kedekatanku dengan Liam. Setelah kerja kelompok selesai, aku kembali kedalam
hidupku yang kaku.
Aku tahu, aku dan
Liam tidak ditakdirkan untuk dekat selamanya. Karena Liam seperti spiderman
yang bertemu dengan Gwen Stacy hanya dalam waktu sementara. Perbedaannya hanya,
Spiderman Liam tidak jatuh hati dengan Gwen Robot. Karena Gwen Robot dan
logika-logikanya begitu bodoh. Mungkin aku dan Liam tak akan pernah bicara lagi
sampai kami tamat. Dan aku takkan pernah bisa mengatkan padanya kalau aku suka
dia sampai tamat nanti.
Terkadang aku ingin
menjadi seorang remaja perempuan biasa saja. Aku ingin mengekspresikan semua
perasaanku. Aku ingin menjadi remaja pada umumnya. Aku ingin mengarungi
samudera tanpa menaiki kapal otomatis yang membawaku kemana saja, tanpa perlu
perintah.
**
Liam tidak
sepertiku yang seakan-akan mematikan komunikasi kami. Liam sering mengirimi aku
sms setiap hari minggu.
Happy
Sunday ra.. Mmm, besok ada pr apa?
Aku palingan hanya
membalas sms itu singkat. Terkesan pelit dengan pulsa. Tapi sebenarnya aku
begitu malu. Aku senang Liam begitu baik padaku. Tapi, apa daya, otak robot
membuatku seakan menarik diri dari Liam.
Liam juga pernah
mengirimi aku pesan, di saat hari aku sedang sakit.
Sira,
cepat sembuh ya.. Kelas sepi tanpa ada si juara kelasnya.
Aku tertawa membaca
suratnya. Emang kapan aku ribut untuk mengisi kelas? Aku bahkan merasa
keberadaanku di kelas seakan tidak terlihat. Invisible.
Liam juga pernah
memberikan sebuah notes, katanya sebagai tanda terima kasih karena aku pernah
mengajarinya Fisika. Notes pemberian Liam masih tersimpan rapi di kamarku. Aku
begitu takut jika notes itu rusak sedikitpun.
Liam juga pernah
menawariku untuk pulang bersamanya, tapi aku menolaknya dengan kebohongan yang
begitu halus, seperti barang imitasi yang terlihat begitu sama dengan barang
aslinya. Aku berkata,”Maaf Liam, aku naik becak langganan sekarang.”
**
Tanpa sadar tiga
tahun berlalu dari SMA ini. Seperti yang aku duga, aku masih menyukai Liam.
Tapi aku yakin, Liam tak menyukaiku. Bagaimana bisa, laki-laki yang sedikit
ugal-ugalan itu menyukai aku, Sira, si perempuan aneh, yang selalu invisble,
tidak terlihat kehadirannya.
**
Hari
perpisahan
Aku duduk dengan
penampilan yang cenderung sederhana, maksudku dandananku tidak jauh beda dengan
hari sekolah. Rambut diikat, poni di miringkan ke samping kanan. Di tengah
keheningan yang aku ciptakan. Tiba-tiba,Thio datang sambil menyodorkon secarik
kertas.
Aku menerimanya. Kertas itu berwarna biru laut
yang membuatku tak melepaskan pandangan darinya.
“Ra, menurut aku, kamu terlalu kaku, kamu
jangan kaku kau amat dong, aku takut.. Oh iya itu surat dari Liam... Liam malu
kasihnya.. Balas ya!”, ujar Thio yang ak yakini seratus persen jujur. Ingin
rasanya aku tertawa setengah mati mendengarnya, tapi tawa itu hanya sampai di
tenggorokan saja.
Thio berjalan
menjauh. Aku segera membaca surat itu.
Buat :Sira
Ra,
Kamu amazing buat aku. Kamu begitu mengaggumkan. Oh ya Ra... Selamat ya Nilai
UN kamu bagus, bagusnya pake Banget. Kamu juga lulus kan di fakultas yang kamu
suka, Kedokteran.
Ra...
Selama ini ada hal yang pengen banget aku sampaikan ke kamu. Tapi aku takut,
takut banget. Takut kamu jadi benci ke aku. Tapi aku harus menyampaikan ini,
tak ada waktu lagi untuk menyembunyikannya.
Ra...
Aku suka kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku? Ra, please, jangan marah sama aku,
jangan benci sama aku. Ra, jawab yang jujurya Ra.
Ra..
sejak kelas satu aku udah suka kamu. Kamu alasan selama SMA aku gak punya
kekasih. Kamu adalah alasan yang kuat buat aku rajin belajar.
Kamu
ingat gak waktu kita kerja kelompok untuk pertama kalinya? Aku seneng bukan
main Sira. Sira... I Love You so so so
much.
Aku begitu kaget.
Selama ini, cintaku terbalas? Mungkin bagi perempuan normal mereka bakal
langsung memeluk Liam dan membalas cintanya. Tapi aku bukan kategori Normal.
Tapi keinginanku sama dengan wanita normal yang berada pada posisiku, keinginan
untuk mengatakan cintua pada Liam, tapi
keinginanku itu terhenti oleh logika-logika bodoh yang diberikan otak robot.
Aku mengambil
seacarik kertas dan mulai menulis surat untuk liam. Untung saja aku selalu
menyediakan kertas kemanapun aku pergi.
Untuk Liam.
Liam...Makasih banget kamu udah suka
sama aku. Aku juga suka sama kamu.
Aku membaca hasil
tulisanku, yang begitu aneh bagi logika-logika ku. Aku mengambil correction
pen, dan menghapus kalimat terakhir. Apa tindakanku benar? Ya, bagi otakku,
tidak, bagi hatiku.
Aku menggantikan
kalimat terakhir dengan menuliskan:
Liam, I’m not ready for this. Sorry.
Logika ku ingin aku
berbohong lagi untuk perasaanku.Hati kecilku tak bisa melawan logika-logika
bodohku. Aku menyerahkan surat pendekku langsung ke Liam.
“Liam.. Ini buat
kamu..”
Ingin rasanya aku
menangis dan membunuh logika-logika ku. But, I can’t. Aku memang robot yang
diprogram untuk tidak ekspressif. Liam, I
love you so much, bisikku dalam hati.
**
Aku duduk
termenung. Aku tidak menitikkan air mata, karena mataku tak diizinkan untuk
menangis oleh otak robot ini. Logikaku membuatku muak dan benci pada diriku
sendiri. Aku telah membuang kesempatan emasku, untuk menjadi kekasih Liam. So
Stupid.
“Ra, boleh foto
bareng gak? Untuk kenang-kenangan..”
Suara Liam membuatku
terkejut dan balik ke realita yang begitu kejam. Aku bengong untuk waktu yang
cukup lama. Aku ingin mengatakan Yes. Tapi bodohnya lagi, otak robotku
mengatakan hal bodoh. “Boleh, mm, sama Gina ya!”. Tanganku menarik Gina untuk
foto bersama.
Aku bisa merasakan
Kecewa pada mata Liam. Hatiku juga begitu kecewa pada diriku sendiri.
Setelah foto
selesai, Liam pergi.
Aku merasakan sesak
pada dadaku. Apakah ini rasa nyesek yang sering para remaja katakan?dan berkat
rasa nyesek ini, aku malah menyusul Liam. Aneh.
“Liam, foto sekali
lagi dong?”, ucapku yang membuat otak robotku mengamuk-ngamuk.
Liam mengangguk
senang. Finally, we took a photo together. Aku bahagia, bahagia bukan main. Di
handphoneku, dan di handphonenya, sudah tersimpan foto kami berdua.
“Ra, seriosly, I’m
in love with you...”, ucap Liam.
“Sira, aku gak
bakal pernah ngelupain kamu, dan jujur aku masih berharap kamu menerima aku.
Tapi aku gak mau buat kamu jijik, kesal, maupun marah denganku. Aku bakal jauh
dari kehidupanmu, menghilang.”
Liam meninggalkanku,
di tengah pesta perpisahan dengan melambaikan tangannya. Liam tulus
mencintaiku, begitu pula aku. Tapi, aku tak bisa mengekspresikan rasa cintaku.
Otak robotku memikirkan sebuah masa depan yang lain bagi diriku, sebuah masa
depan dengan laki-laki lain yang sepintar aku, mapan, dan mungkin juga kaku. Liam
masih memberikan sebuah kesempatan bagiku. Tapi apa daya, aku tak tahu cara
membalas kesempatan itu.
Awkward
Moment is When Someone gives you another chance, and
you
don’t know what You Have to do
(Momen
terburuk ialah saat seseorang memberikanmu sebuah kesempatan lagi,
tapi kamu tidak tahu apa yang harus kamu
lakukan dengan itu.)
**
Akhir dari cerita
pendek ini tidak seindah yang ingin diharapkan. Aku dan otak robot, dan
logika-logika bodoh ini, melarang hati kecilku untuk membalas cinta Liam. Aku
mungkin menjadi wanita terbodoh sepanjang masa.
Aku memang robot
yang bodoh. Liam, aku begitu menyukainya tapi aku enggan bersamanya. Ya, aku
kembali menjalankan hidup ala robotku, tapi tanpa Liam lagi.
Aku tahu suatu
hari, aku akan bertemu Liam, dan rasa cintaku akan bergejolak lagi. Aku juga
tahu suatu hari lagi, aku akan begitu sedih melihat Liam bersama wanita lain.
Tapi aku masih saja menjadi robot bodoh. Aku mungkin pintar tapi aku juga
bodoh.
Aku berjanji suatu
hari nanti, aku bisa mengatakan perasaanku pada Liam. Walau suatu hari itu,
mungkin hari dimana aku dan Liam sudah terikat dengan orang lain.
Aku dan Liam memang
bagaikan Dewi Athena dengan Dewa Poseidon. Terlahir untuk tidak bersatu, walau
sepanjang massa ditakdirkan untuk duduk di singgasana Olympus bersama. Ya, aku
memang Athena, Dewi yang selalu berfikir, memainkan logika-logika, Dewi
strategi perang. Sementara Poseidon, bebas tenang di laut. Tapi jika aku
benar-benar Athena, dan dia Poseidon. Aku masih punya kesempatan dengannya
untuk bersatu dengan mengalahkan ke-egoan logikaku,meskipun hanya dalam perang.
Maafkan Aku ya
Liam.Aku begitu munafik, dan kemunafikan aku justru menghancurkan dua orang,
bukan hanya aku, tapi juga kamu.
Love
doesn’t need logic, But I give many logics to Love, So I Broke it perfectly.
(Cinta
tidak butuh logika, tapi aku memberikan banyak logika
Untuk
cinta. Jadi, aku merusaknya dengan sempurna.)
--T A M A T--